labels

Kamis, 12 September 2013

Tak mau menjadi kaya...

hikmah tak mau jadi kaya



Sangat jarang kita menemui orang yang mengucapkan hal tersebut. Tapi orang itu aku temukan juga, yaitu seorang kolega di klinik universitas, tempat kerjaku yang lain. Jangan dibilang ia bukan "orang kaya", masyarakat di tempat tinggalnya saja menyebutnya sebagai tuan tanah, "O, Pak X ingkang duwe lemah katah niku..." (O, Pak X yang punya tanah banyak itu..."

Dia sudah punya titel haji, sudah hampir spesialis juga. Penampilannya sederhana aja. Ke kantor cuma naik motor butut, tapi begitu pemurah, klo ada yang sakit langsung ngomong: "kamu butuh apa?" Klo pas giliran dinas biasanya men(t)raktir semua karyawan yang ada. Nah, saat-saat makan itu kami sering menanyakan kok rajin men(t)raktir? "Ga pengen jadi orang kaya...", katanya. Pokoknya orangnya sama sekali ga pelit bin medit. Aku aja sempat ngiler lihat internet broadband mobile yang dia langgani pernah ditawari untuk nyoba dan dipersilakan bawa pulang...wah!! Ya, mungkin ada yang berpendapat: "Ah, beliau kan memang ga punya keluarga, jadi ga butuh uanglah..." (maksudnya ga punya istri dan anak, memang beliau ga menikah...) Tapi menurutku bukan itu yang utama.

Di kesempatan lain, dia ngomong yang sama: "Ga mau jadi orang kaya..." katanya. "Kenapa, Pak?", seorang perawat menanyakan. Aku langsung aja nyolot: "Ga tahan konsekuensinya ya, Pak?" Dia langsung ketawa: "Iya benar, orang kaya itu berat konsekuensinya, masuk surga aja paling belakang sendiri, karena harus ditanya macem-macem dulu..." Oooo, ternyata itu toh...

Andaikan banyak orang berfikir seperti beliau, mungkin ga banyak orang serakah yang akan merugikan orang banyak di bumi ini


Tidak ada komentar:

Posting Komentar