labels

Kamis, 19 September 2013

Ketika Mendengar Suara Hati

suara hati



Pada usia 34 tahun, Farida sudah memiliki semuanya. Ia punya karier cemerlang di sebuah bank Amerika di Singapura dan mendapatkan fasilitas impian setiap profesional muda. Gaya hidupnya memenuhi ”ukuran kesuksesan”: apartemen bagus, mobil terbaru, perlengkapan serba branded, makan di restoran mewah, clubbing, liburan ke luar negeri, dan lain-lain.

Tidak ada yang tahu, saya melewati hari-hari penuh ketegangan, sampai lupa tertawa. Yang ada di kepala saya hanya angka dan target-target dari menit ke menit….”

Farida Alamsyah (39) ditemui suatu pagi. Wajahnya teduh. Sorot matanya hangat dan tampak sangat sehat. Sejak lima tahun lalu ia mulai suka berpuasa karena, ”Sangat baik untuk tubuh, pikiran, dan jiwa, apalagi di bulan suci Ramadhan.”

Hal itu tak pernah dibayangkan dari Farida dulu, yang menganggap karier adalah segalanya sehingga harus dipertahankan dalam pertaruhan ”hidup-mati”. Ia memang ingin sukses, tetapi kehidupan seperti itu tak pernah ia impikan ketika lulus dari Institut Pertanian Bogor pada tahun 1990.

Ia mendapatkan semuanya, tetapi juga merasa kehilangan semuanya. ”Saya terus gelisah. Tidak enak makan, tidak enak tidur. Saya mencari teman clubbing, tetapi rasanya kosong. Saya hidup, tetapi merasa tidak hidup. Kalau terus begini, saya akan kehilangan semuanya.”

Banyak pertanyaan menari-nari di kepalanya. ”Apakah saya menginginkan kehidupan seperti ini? Apa yang saya kejar? Untuk apa saya hidup?” Semua pertanyaan itu bermuara pada satu pertanyaan besar: ”Siapa saya?”

Melepas semuanya

Pertanyaan yang sama memenuhi benak Rani Rahmani Moediarta (45), empat tahun lalu. Sebelum menduduki posisi cukup tinggi dalam karier struktural di sebuah majalah wanita terkemuka, Rani dikenal sebagai salah satu penulis masalah kesehatan terbaik dengan berbagai penghargaan tingkat nasional dan internasional.

Banyak orang menganggap jabatan itu sebagai ukuran ”keberhasilan”, tetapi tidak begitu halnya Rani. Ia mulai gelisah karena kehilangan ”napas”. Ia tak punya waktu lagi melakukan hal yang benar-benar ia inginkan.

Itulah bagian yang kemudian ia tengarai sebagai ujung akhir periode 'survival' dalam hidupnya. Periode itu didorong oleh kebutuhan bertahan, di mana ia ”harus” mencapai target-target yang ia buat supaya menjadi ”seseorang” menurut ukuran umum.

”Tindakan itu didorong rasa takut. Takut tidak survive, takut ini, takut itu,” ungkap orangtua tunggal dengan satu anak yang sudah mencari penghasilan sendiri sebagai guru Bahasa Inggris ketika kuliah pada Jurusan Bahasa Inggris IKIP Bandung.

Perjumpaannya dengan beberapa teman dan perenungan-perenungan harian, membawanya pada kesadaran, ada hal yang lebih penting dalam hidup di luar pekerjaan mengejar uang, jabatan, dan nama besar. Perjalanannya ke Swedia tahun 2000 mengikuti program Further Education for Journalist menambah kegelisahannya karena muncul kesadaran baru tentang ”diri”, tentang ”subyektivitas”.

Pergulatan batin itu berlangsung setahun sebelum tekadnya bulat meninggalkan pekerjaan. Ia ingin melakukan pekerjaan yang dia sukai: menulis, membaca, dan meditasi. Padahal saat itu ia hanya punya sedikit tabungan, dan belum selesai mencicil kendaraan.

”Titik balik” seperti itu juga dilewati Farida setelah melalui beberapa tahap pengalaman di dalam diri. Ia mengikuti pelatihan meditasi Art of Living setelah membaca suatu artikel. Disiplin latihan pernapasan membuat ia merasa jauh lebih relaks. Saat ikut pelatihan lanjutan, ia mulai merasa ada kehidupan lain yang lebih baik.

Pelatihan di India dan Indonesia waktu cuti kerja membawanya kepada ”titik balik”: meninggalkan pekerjaannya, Februari tahun 2002.

Setelah menjalani pelatihan keras sebagai guru yoga di sebuah ashram di Kanada, ia pulang ke Jakarta dan menjalani kehidupan sebagai pelatih yoga dari rumah ke rumah. Ia menjalani kehidupan sebagai vegetarian dan meninggalkan secara total gaya hidup lamanya. Kemudian ia membuat pelatihan di tempat yang menetap.

Farida menemukan ketenangan dan kedamaian diri akan memengaruhi orang-orang di sekitar, kemudian membentuk gelombang energi positif dalam kehidupan yang serba menang-menangan.

Rani menyebut perjalanannya sebagai periode ”beyond survival”. Hukumnya tak lagi berdasarkan logika, tak matematis, 1+1 tak lagi 2. ”Kalau saya kerja keras, hasilnya banyak karena prestasi dihargai dengan uang,” katanya.
Pada periode ”beyond survival” hukumnya bersifat magical, keajaiban. ”Sudah tak logis dan tidak matematis.”

Ia pun meletakkan ketakutan-ketakutannya dan menyerahkan semuanya pada penyelenggaraan Ilahi. Kehidupan spiritualnya bertumbuh kian subur, menyingkirkan keinginan ragawi yang tak terkendali.

Keajaiban-keajaiban kemudian seperti disodorkan kepadanya. Ia diminta membuat majalah bertema kesehatan pribadi Healthy Life, majalah yang selalu ia inginkan karena, ”Saya sangat suka menulis tentang kesehatan fisik dan spiritual.”

Ia ditawari menjadi kolumnis di sebuah tabloid saat memutuskan bekerja paruh waktu pada Healthy Life. Ia menjadi penerjemah buku-buku bertemakan hal-hal yang ia minati dan menjalani hidupnya dengan ringan, hanya mengikuti suara hati. Kesempatan pun datang, susul- menyusul.

”Saya belajar dari pengalaman, kalau kita menyerahkan semuanya kepada-Nya, kita akan mendapatkan yang kita butuhkan. And you will experience what you believe,” tegas Rani.

Tidak menunggu

Sandy Joesoef (28) punya pengalaman sedikit berbeda. Sarjana hukum lulusan Universitas Atma Jaya, Jakarta, itu memutuskan meninggalkan kariernya sebagai praktisi hukum untuk mewujudkan cita-citanya mengurus binatang peliharaan. Dengan tabungannya, ia membuka petshop di samping rumahnya di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

”Sejak kecil saya suka binatang,” ujar Sandy. Sebagai anak tunggal, ia lebih banyak ditemani binatang peliharaan di rumah sehingga pernah ingin jadi dokter hewan. Cita-cita itu kandas karena sewaktu SMA ia masuk jurusan sosial.

”Masalahnya bukan penghasilan, yang penting adalah saya senang melakukannya. Saya merasa berguna. Paling tidak, orang tahu, kalau urusan binatang peliharaan, ke Sandy saja,” lanjutnya.

Sandy sering menemukan kucing yang sekarat karena telantar atau terluka. Ia mengurusnya, membuatnya sehat kembali. ”Itu si Untung. Saya tak mau menjualnya,” ujar Sandy, seraya memperlihatkan seekor kucing berwarna hitam putih, bersih, sehat. Tak sedikit pun tampak ia kucing kampung yang kurus kering dan hampir mati ketika ditemukan di jalan.

Sandy melakukan pekerjaannya dengan penuh cinta. ”Saya dan suami bisa ngurus binatang sampai jauh malam. Rasanya relaks banget,” lanjutnya. Karena itu ia tak mau sembarang orang mengadopsi binatang-binatang di petshop. ”Ada wawancara supaya saya yakin mereka sungguh mencintai binatang.”

Ia bukan tak peduli pada gelar formal. Akan tetapi, ia merasa berkewajiban dan bertanggung jawab mempertahankan hak sesama makhluk hidup.

Secara implisit tertangkap pandangannya tentang pilihan itu: kalau seseorang tak bisa menghargai nyawa makhluk hidup lain yang lebih lemah dan butuh perlindungan, bagaimana ia bisa menghargai kehidupan manusia?

Farida, Rani, dan Sandy hanyalah sedikit dari semakin banyak orang yang berani mendengarkan suara hati di tengah keriuhan perebutan kekuasaan; di tengah situasi yang menyebabkan manusia meninggalkan kemanusiaannya untuk mengejar bayang-bayang semu dari apa yang disebut ”kesuksesan”.

oleh DAHONO FITRIANTO & MARIA HARTININGSIH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar