Pada usia 34 tahun, Farida sudah memiliki semuanya. Ia punya karier
cemerlang di sebuah bank Amerika di Singapura dan mendapatkan fasilitas impian
setiap profesional muda. Gaya hidupnya memenuhi ”ukuran kesuksesan”: apartemen
bagus, mobil terbaru, perlengkapan serba branded, makan di restoran mewah,
clubbing, liburan ke luar negeri, dan lain-lain.
Tidak ada yang tahu, saya melewati hari-hari penuh ketegangan, sampai lupa
tertawa. Yang ada di kepala saya hanya angka dan target-target dari menit ke
menit….”
Farida Alamsyah (39) ditemui suatu pagi. Wajahnya teduh. Sorot matanya hangat
dan tampak sangat sehat. Sejak lima tahun lalu ia mulai suka berpuasa karena,
”Sangat baik untuk tubuh, pikiran, dan jiwa, apalagi di bulan suci Ramadhan.”
Hal itu tak pernah dibayangkan dari Farida dulu, yang menganggap karier
adalah segalanya sehingga harus dipertahankan dalam pertaruhan ”hidup-mati”. Ia
memang ingin sukses, tetapi kehidupan seperti itu tak pernah ia impikan ketika
lulus dari Institut Pertanian Bogor pada tahun 1990.
Ia mendapatkan semuanya, tetapi juga merasa kehilangan semuanya. ”Saya
terus gelisah. Tidak enak makan, tidak enak tidur. Saya mencari teman clubbing,
tetapi rasanya kosong. Saya hidup, tetapi merasa tidak hidup. Kalau terus
begini, saya akan kehilangan semuanya.”
Banyak pertanyaan menari-nari di kepalanya. ”Apakah saya menginginkan
kehidupan seperti ini? Apa yang saya kejar? Untuk apa saya hidup?” Semua
pertanyaan itu bermuara pada satu pertanyaan besar: ”Siapa saya?”
Melepas semuanya
Pertanyaan yang sama memenuhi benak Rani Rahmani Moediarta (45), empat
tahun lalu. Sebelum menduduki posisi cukup tinggi dalam karier struktural di
sebuah majalah wanita terkemuka, Rani dikenal sebagai salah satu penulis
masalah kesehatan terbaik dengan berbagai penghargaan tingkat nasional dan
internasional.
Banyak orang menganggap jabatan itu sebagai ukuran ”keberhasilan”, tetapi
tidak begitu halnya Rani. Ia mulai gelisah karena kehilangan ”napas”. Ia tak
punya waktu lagi melakukan hal yang benar-benar ia inginkan.
Itulah bagian yang kemudian ia tengarai sebagai ujung akhir periode
'survival' dalam hidupnya. Periode itu didorong oleh kebutuhan bertahan, di
mana ia ”harus” mencapai target-target yang ia buat supaya menjadi ”seseorang”
menurut ukuran umum.
”Tindakan itu didorong rasa takut. Takut tidak survive, takut ini, takut
itu,” ungkap orangtua tunggal dengan satu anak yang sudah mencari penghasilan
sendiri sebagai guru Bahasa Inggris ketika kuliah pada Jurusan Bahasa Inggris
IKIP Bandung.
Perjumpaannya dengan beberapa teman dan perenungan-perenungan harian,
membawanya pada kesadaran, ada hal yang lebih penting dalam hidup di luar
pekerjaan mengejar uang, jabatan, dan nama besar. Perjalanannya ke Swedia tahun
2000 mengikuti program Further Education for Journalist menambah kegelisahannya
karena muncul kesadaran baru tentang ”diri”, tentang ”subyektivitas”.
Pergulatan batin itu berlangsung setahun sebelum tekadnya bulat
meninggalkan pekerjaan. Ia ingin melakukan pekerjaan yang dia sukai: menulis,
membaca, dan meditasi. Padahal saat itu ia hanya punya sedikit tabungan, dan
belum selesai mencicil kendaraan.
”Titik balik” seperti itu juga dilewati Farida setelah melalui beberapa
tahap pengalaman di dalam diri. Ia mengikuti pelatihan meditasi Art of Living
setelah membaca suatu artikel. Disiplin latihan pernapasan membuat ia merasa
jauh lebih relaks. Saat ikut pelatihan lanjutan, ia mulai merasa ada kehidupan
lain yang lebih baik.
Pelatihan di India dan Indonesia waktu cuti kerja membawanya kepada ”titik
balik”: meninggalkan pekerjaannya, Februari tahun 2002.
Setelah menjalani pelatihan keras sebagai guru yoga di sebuah ashram di
Kanada, ia pulang ke Jakarta dan menjalani kehidupan sebagai pelatih yoga dari
rumah ke rumah. Ia menjalani kehidupan sebagai vegetarian dan meninggalkan
secara total gaya hidup lamanya. Kemudian ia membuat pelatihan di tempat yang
menetap.
Farida menemukan ketenangan dan kedamaian diri akan memengaruhi orang-orang
di sekitar, kemudian membentuk gelombang energi positif dalam kehidupan yang
serba menang-menangan.
Rani menyebut perjalanannya sebagai periode ”beyond survival”. Hukumnya tak
lagi berdasarkan logika, tak matematis, 1+1 tak lagi 2. ”Kalau saya kerja
keras, hasilnya banyak karena prestasi dihargai dengan uang,” katanya.
Pada periode ”beyond survival” hukumnya bersifat magical, keajaiban. ”Sudah
tak logis dan tidak matematis.”
Ia pun meletakkan ketakutan-ketakutannya dan menyerahkan semuanya pada
penyelenggaraan Ilahi. Kehidupan spiritualnya bertumbuh kian subur,
menyingkirkan keinginan ragawi yang tak terkendali.
Keajaiban-keajaiban kemudian seperti disodorkan kepadanya. Ia diminta
membuat majalah bertema kesehatan pribadi Healthy Life, majalah yang selalu ia
inginkan karena, ”Saya sangat suka menulis tentang kesehatan fisik dan
spiritual.”
Ia ditawari menjadi kolumnis di sebuah tabloid saat memutuskan bekerja
paruh waktu pada Healthy Life. Ia menjadi penerjemah buku-buku bertemakan
hal-hal yang ia minati dan menjalani hidupnya dengan ringan, hanya mengikuti
suara hati. Kesempatan pun datang, susul- menyusul.
”Saya belajar dari pengalaman, kalau kita menyerahkan semuanya kepada-Nya,
kita akan mendapatkan yang kita butuhkan. And you will experience what you believe,”
tegas Rani.
Tidak menunggu
Sandy Joesoef (28) punya pengalaman sedikit berbeda. Sarjana hukum lulusan
Universitas Atma Jaya, Jakarta, itu memutuskan meninggalkan kariernya sebagai
praktisi hukum untuk mewujudkan cita-citanya mengurus binatang peliharaan.
Dengan tabungannya, ia membuka petshop di samping rumahnya di kawasan Kebayoran
Baru, Jakarta Selatan.
”Sejak kecil saya suka binatang,” ujar Sandy. Sebagai anak tunggal, ia
lebih banyak ditemani binatang peliharaan di rumah sehingga pernah ingin jadi
dokter hewan. Cita-cita itu kandas karena sewaktu SMA ia masuk jurusan sosial.
”Masalahnya bukan penghasilan, yang penting adalah saya senang
melakukannya. Saya merasa berguna. Paling tidak, orang tahu, kalau urusan
binatang peliharaan, ke Sandy saja,” lanjutnya.
Sandy sering menemukan kucing yang sekarat karena telantar atau terluka. Ia
mengurusnya, membuatnya sehat kembali. ”Itu si Untung. Saya tak mau
menjualnya,” ujar Sandy, seraya memperlihatkan seekor kucing berwarna hitam
putih, bersih, sehat. Tak sedikit pun tampak ia kucing kampung yang kurus
kering dan hampir mati ketika ditemukan di jalan.
Sandy melakukan pekerjaannya dengan penuh cinta. ”Saya dan suami bisa
ngurus binatang sampai jauh malam. Rasanya relaks banget,” lanjutnya. Karena
itu ia tak mau sembarang orang mengadopsi binatang-binatang di petshop. ”Ada
wawancara supaya saya yakin mereka sungguh mencintai binatang.”
Ia bukan tak peduli pada gelar formal. Akan tetapi, ia merasa berkewajiban
dan bertanggung jawab mempertahankan hak sesama makhluk hidup.
Secara implisit tertangkap pandangannya tentang pilihan itu: kalau
seseorang tak bisa menghargai nyawa makhluk hidup lain yang lebih lemah dan
butuh perlindungan, bagaimana ia bisa menghargai kehidupan manusia?
Farida, Rani, dan Sandy hanyalah sedikit dari semakin banyak orang yang
berani mendengarkan suara hati di tengah keriuhan perebutan kekuasaan; di
tengah situasi yang menyebabkan manusia meninggalkan kemanusiaannya untuk
mengejar bayang-bayang semu dari apa yang disebut ”kesuksesan”.
oleh DAHONO FITRIANTO & MARIA HARTININGSIH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar