“Tidakkah engkau tahu anakku, segala
‘udzur telah dihapus dengan firmanNya, “Berangkatlah dalam keadaan
ringan ataupun berat !” ?” -Abu Ayyub Al Anshari, Radhiyallaahu ‘Anhu-
Di buku
"Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim", pernah dikisahkan tentang Ibnu
Taimiyah. Dia yang selalu dipasang di garis depan, menjadi pejuang pengobar
semangat ketika serbuan Mongol bergemuruh menerjang Damaskus. Dan dialah juga
yang tiap kali tugas jihad itu usai harus bersetia kembali menghuni selnya di
penjara kota.
Tetapi
jeruji-jeruji tak menghentikannya. Disaksikan besinya yang berkarat dan
temboknya yang berlumut dia ucapkan kekatanya yang menyejarah. “Apa yang mereka
lakukan padaku? Jiwaku merdeka dalam genggaman Allah. Jika aku dipenjara,
jadilah ia rehat. Jika dibuang jadilah ia tamasya. Jika dibunuh, apalagi yang
lebih kurindukan selain menemui Allah?” Penjara tak menghentikannya. Ia tetap
berkarya. Saat tinta, kertas, dan pena dijauhkan darinya, ditulisnya Risalatul
Hamawiyah di dinding penjara dengan arang sisa perapian. Dan dunia pun menjadi
saksi, bahwa jiwanya telah menari di atas semua batas, merayakan pengabdian
yang hanya ia tujukan pada Allah sepanjang hidupnya.
Izinkan kali ini
saya hadirkan seorang lagi yang menari di atas batas. Namanya Muhammad ibn
‘Ali. Tapi orang akan lebih mengangguk tanda kenal jika disebut nama Muhammad
ibn Al Hanafiyah. Ini menisbat pada ibunya, seorang wanita dari Bani Hanifah.
Ya, ayahandanya adalah ‘Ali ibn Abi Thalib, radhiyallaahu ‘anhu. Tapi ibundanya
bukanlah Fathimah. Artinya, dia bukan berasal dari garis turun langsung Sang
Nabi, Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam.
Satu saat seseorang
mempermasalahkan pembedaan yang dilakukan atas dirinya dibanding kedua
kakandanya, Al Hasan dan Al Husain. “Tidakkah kau lihat”, kata orang
itu, “Ayahmu lebih mencintai Al Hasan dan Al Husain dibanding dirimu ?”
“Duh, jangan katakan begitu kawan !”,
jawabnya kalem. “Al Hasan dan Al Husain bagaikan dua mata bagi ayahku.
Sedang aku ini bagaikan kedua tangannya.” Senyumnya mengembang, manis
sekali. “Adalah tugas kedua tangan”, lanjutnya, “Untuk menjaga kedua
mata.” Dan memang begitulah kehidupannya, diabdikan untuk menjaga kedua
kakandanya hingga batas waktu yang telah Allah tetapkan. Hingga, Al Hasan wafat
dan Al Husain pun gugur dalam kisah yang terlalu pedih untuk kita ceritakan.
Dendamkah Muhammad
ibn Al Hanafiyah pada keluarga besar yang telah menzhalimi keluarganya itu;
Bani Umayyah ? Secara manusiawi tentu jawabnya ya. Apalagi rasa pedih itu
kadang muncul di saat seharusnya ia tunduk khusyu’ dan mentaati wasiat taqwa.
Masa itu, hampir tak ada khuthbah Jum’at yang melewatkan pujian untuk Mu’awiyah
sekeluarga sekaligus cacian untuk ‘Ali, ayahandanya. Seakan, mengumpat ‘Ali ibn
Abi Thalib adalah bagian dari rukun khuthbah.
Tetapi orang-orang
kemudian tertakjub ketika ia memenuhi panggilan jihad yang diserukan Yazid ibn
Mu’awiyah, orang yang paling bertanggungjawab atas pembantaian Al Husain
sekeluarga. “Layakkah orang seperti itu ditaati?”, tanya orang-orang. “Memangnya
ada apa dengannya?” “Dia meninggalkan shalat, meminum khamr, dan jauh
dari hukum Allah!” “Aku tidak melihat itu ketika membersamainya. Dia
menunaikan shalat, cenderung pada kebajikan, dan bertanya tentang Al Quran juga
sunnah RasulNya.”
“Dia hanya berpura-pura
di hadapanmu!” “Apakah yang ditakutkannya atasku hingga harus
berpura-pura? Dan jika kalian memang melihatnya melakukan semua itu, mengapa
dia tidak berpura-pura pada kalian? Apakah kalian semua ini sahabat akrabnya
yang ingin menjebakku?”
Mereka terdiam.
Saling pandang. Lalu berkata lagi, “Bukankah Bani Umayyah yang telah
menzhalimi keluargamu hingga binasa dan curas? Apa yang akan kau katakan di
hadapan Allah dan di hadapan ayahmu, juga saudara-saudaramu, jika kini kau
berperang di bawah panji-panji Bani Umayyah?”
Muhammad ibn Al
Hanafiyah tersenyum. “Ayahku kini membersamai Rasulullah di surga tertinggi,
sementara saudara-saudaraku adalah penghulu para pemuda di sana. Kezhaliman
Bani Umayyah adalah urusan mereka dengan Allah. Urusanku kini adalah berjihad
di jalan Allah dan mentaati Ulil Amri.”
Begitulah. Tak
mudah menjadi seorang Muhammad ibn Al Hanafiyah. Ada kendala-kendala, ada
batas-batas yang membuatnya terhalang untuk memberikan pengabdian. Batas-batas
itu bukan hanya ada di dataran raga, tapi jauh di sana, di dalam jiwanya. Dan kini jiwanya menari di atas batas, merayakan
pengabdian yang sepanjang hidup ia tujukan untuk Allah.
Memaknai batas kadang memberi kita permakluman untuk
mengambil ‘udzur. Selalu ada pembenaran atas setiap
langkah mundur yang kita ambil. Selalu ada alasan untuk berlama-lama di tiap
perhentian yang kita singgahi. Tetapi di jalan cinta para pejuang, para
kstaria agung itu bertanya pada hati. Dan mereka menemukan jawab yang membuat
jiwa menari di atas batas, meski jasad harus bersipayah mengimbanginya.
‘Amr ibn Al Jamuh,
lelaki pincang dari Bani Najjar itu diminta rehat ketika hari Uhud tiba. “Dengan
kaki pincangku inilah”, katanya, “Aku akan melangkah ke surga!”
Jiwanya menari di atas batas, dan Sang Nabi di hari Uhud bersaksi, “Ia kini
telah berada di antara para bidadari, dengan kaki yang utuh tak pincang lagi!”
Dengan nikmat Allah
yang begitu besar atas jiwa dan raga ini, apa yang harus kita katakan pada ‘Amr
ibn Al Jamuh, Ahmad Yassin, dan orang-orang semisal mereka saat kita disaput
diam dan santai ? Dengan kemudaan ini, berkacalah kita pada Abu Ayyub Al
Anshari yang di usia delapan puluh tahunnya bergegas-gegas ke Konstantinopel,
menjadikan pedangnya sebagai tongkat penyangga tubuh sepanjang jalan. Dan apa
jawab kita saat kita ingatkan bahwa ia punya ‘udzur, tapi justru dia bertanya sepenuh
cinta, “Tidak tahukah engkau Nak, bahwa ‘udzur
telah dihapus dengan firmanNya, ‘Berangkatlah dalam keadaan ringan maupun
berat!’”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar